Rabu, 07 Desember 2011

Ketika Hujan Turun


Malam itu, malam Minggu begitu mencekam. Rasa takut, malu, bahkan kebahagiaan. Malam gelap gulita, mendung awan menggumpal hitam menjadi keadaan malam ini semakin gelap. Tetapi suasan yang tak mendukung tidak membuat Yatno mundur akan langkahnya.
Bu Wage         : Yatno sudah besar Pak. Malam ini malam Minggu, tak ada salahnya jika dia mempunyai acara dengan teman-temannya atau bahkan dengan pacarnya (bujuk Bu Wage)
Pak Wage       : Apa? Pacaran? Jangankan pacaran sekolah aja belum selesai mau pacaran. Kalau mau pacaran, kerja dulu biar gak minta uang pada bapaknya. Orang susah kok pacaran. Dasar anak gak tau diri (Pak Wage marah meledak-ledak mendengar kata-kata istrinya)
Bu Wage         : Yatno sudah besar Pak, wajar kalau dia punya pacar. Apa salahnya jika orang susah pacaran? (Bu Wage jengkel)
Pak Wage       : Tidak… Tidak… Tidak!!! Pokoknya tidak! Untuk pacaran? Aku dengan susah payah narik becak bukan membiayai anak pacaran. Anak gak tau diri! Pokoknya tidak! Titik! (Pak Wage sudah tidak dapat lagi menahan emosinya)
            Bu Wage mengalah, ia langsung menghampiri anaknya, Yatno.
Bu Wage         : (ia pun menghampiri anaknya) Sudah, sudah. Ibu akan menjual ayam kita kepada tetangga.
Yatno              : apa boleh buk sama bapak? Aku takut bapak akan marah pada ibu.. (Yatno terllihat sedih dengan menekuk wajahnya)
Bu Wage         : Jangan takut. Udah untuk ini adalah urusan ibu. Yang penting kamu bisa pergi.
Yatno pun tersenyum, ia bangga kepada ibunya yang dapat mengerti persaannya saat ini.

            Dengan membawa ayam dari kandang belakang, Bu Wage menggandeng Yatno untuk keluar rumah.
Bu Wage         : Wah Yatno anak ibu kini sudah besar. Kamu terlihat beda nak, penampilan kamu rapi malam ini, wangi pula. (Bu Wage tersenyum melihat anaknya, mungkin ia banggakarena anaknya bisa pacaran)
Yatno              : Ah… ibu bisa saja. (Yatno tersipu malu dengan kata-kata ibunya)
            Pak Wage hanya diam seribu bahasa melihat Yatno dan Ibunya. Ia juga tak berkomentar mengenai ayam yang dijual oleh Bu Wage. Yatno pun pergi setelah mendapatkan uang yang ia mau.
            Tak lama kemudian Pak Wage pergi keluar tanpa berpamitan dengan mengayuh becaknya menjelang maghrib. Mungkin ia hendak menarik becak malam ini.
Pak Wage       : Malam ini kan ada film yang diputar di bioskop terdekat. (batin Pak Wage)
            Ia pun segera menuju gedung bioskop. Film yang diputar jam 19.00 hampir bubar. Di luar hujan mulai turun. Rokok yang dihisap Pak Wage telah habis. Untuk batang kedua, ia memikirkannya. Terasa berharga sebatang rokok ketika hujan seperti ini. Dan hari pun semakin malam, pintu teater sudah dibuka. Berduyun-duyun para penonton yang sebagian besar para muda-mudi keluar dari gedung. Pak Wage pun harus bolak-balik ke gedung bioskop. Tak peduli baju dan celananya basah kuyup. Semua ini Pak Wage lakukan untuk menafkahi keluarganya.
            Hari semakin malam. Tukang becak pun sudah banyak yang pulang. Akan tetapi tidak untuk Pak Wage. Ia masih menunggu beberapa lembar lagi masuk ke kantongnya karena pintu teater dua dan empat belum bubar. Tak lama kemuudian pintu teater pun dibuka.
Pak Wage       : Becak… becak… becak mas… becak mbak…
            Tak lama kemudian lagi-lagi Pak Wage mendapatkan penumpang. Penumpang tersebut menyebutkan nama sebuah jalan.
Pak Wage       : Empat ribu saja, Mas.
Tanpa menawar pasangan pemuda itu pun langsung naik ke dalam becak.
            Pak Wage berniat pulang. Tetapi, ia masih berharap ada rupiah yang dapat menambah isi kantongnya. Ketika sampai di depan gedung bioskop, Pak Wage melihat sepasang pemuda dengan kegelapan.
Pacar Yatno   : Ayo pulang…
Yatno              : Nanti saja  kalau hujannya sudah reda.
Pacar Yatno   : Sampai kapan kita di sini? Itu becaknya sudah datang. Kalau mas gak punya uang biar aku yang bayar. Ini sudah malam. (rengek pacar Yatno yang mulai jengkel)
            Sambil menarik tangan Yatno menuju becak, ia merengek-rengek dengan jengkel. Pak Wage pun membukakan tirai plastik becaknya. Pasangan pemuda itu pun segera melompat ke dalam becak. Sekilas Pak Wage melihat wajah pasangan tersebut. Ia terkejut saat melihat wajah laki-laki itu. Yatno! Tetapi, Pak Wage dapat menguasai keadaan. Dengan lincah ia mengayuh becaknya. Tak habis fikir bahwa penumpang terakhirnya adalah anaknya sendiri.
Pacar Yatno   : Kok diam mas?
Yatno              : Nggak apa-apa kok dik.
Pacar Yatno   : Marah ya Mas? Jawab dong jangan diam gini.
Yatno              : Enggak.
Pacar Yatno   : Ya jangan diam gitu dong. Aku kan jadi gak enak.
           
Pak Wage tersenyum melihat pasangan tersebut. Mungkin ada perasaan bangga dalam hatinya. Namun, ada kepedihan menusuk relung hati terdalam ketika ia melihat Yatno anaknya tak mengenali bapaknya di depan kekasihnya. Dan mungkin ia malu memiliki bapak yang bekerja jadi tukang becak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar