Malam itu, malam Minggu begitu mencekam. Rasa
takut, malu, bahkan kebahagiaan. Malam gelap gulita, mendung awan menggumpal
hitam menjadi keadaan malam ini semakin gelap. Tetapi suasan yang tak mendukung
tidak membuat Yatno mundur akan langkahnya.
Bu Wage : Yatno sudah besar Pak. Malam ini
malam Minggu, tak ada salahnya jika dia mempunyai acara dengan teman-temannya
atau bahkan dengan pacarnya (bujuk Bu Wage)
Pak Wage : Apa? Pacaran? Jangankan pacaran sekolah
aja belum selesai mau pacaran. Kalau mau pacaran, kerja dulu biar gak minta
uang pada bapaknya. Orang susah kok pacaran. Dasar anak gak tau diri (Pak Wage
marah meledak-ledak mendengar kata-kata istrinya)
Bu Wage : Yatno sudah besar Pak, wajar kalau
dia punya pacar. Apa salahnya jika orang susah pacaran? (Bu Wage jengkel)
Pak Wage : Tidak… Tidak… Tidak!!! Pokoknya tidak!
Untuk pacaran? Aku dengan susah payah narik becak bukan membiayai anak pacaran.
Anak gak tau diri! Pokoknya tidak! Titik! (Pak Wage sudah tidak dapat lagi
menahan emosinya)
Bu Wage mengalah, ia langsung
menghampiri anaknya, Yatno.
Bu Wage : (ia pun menghampiri anaknya) Sudah,
sudah. Ibu akan menjual ayam kita kepada tetangga.
Yatno : apa boleh buk sama bapak? Aku
takut bapak akan marah pada ibu.. (Yatno terllihat sedih dengan menekuk
wajahnya)
Bu Wage : Jangan takut. Udah untuk ini adalah
urusan ibu. Yang penting kamu bisa pergi.
Yatno pun
tersenyum, ia bangga kepada ibunya yang dapat mengerti persaannya saat ini.
Dengan membawa ayam dari kandang
belakang, Bu Wage menggandeng Yatno untuk keluar rumah.
Bu Wage : Wah Yatno anak ibu kini sudah besar. Kamu
terlihat beda nak, penampilan kamu rapi malam ini, wangi pula. (Bu Wage
tersenyum melihat anaknya, mungkin ia banggakarena anaknya bisa pacaran)
Yatno : Ah… ibu bisa saja. (Yatno
tersipu malu dengan kata-kata ibunya)
Pak Wage hanya diam seribu bahasa
melihat Yatno dan Ibunya. Ia juga tak berkomentar mengenai ayam yang dijual
oleh Bu Wage. Yatno pun pergi setelah mendapatkan uang yang ia mau.
Tak lama kemudian Pak Wage pergi
keluar tanpa berpamitan dengan mengayuh becaknya menjelang maghrib. Mungkin ia
hendak menarik becak malam ini.
Pak
Wage : Malam ini kan ada film yang
diputar di bioskop terdekat. (batin Pak Wage)
Ia pun segera menuju gedung bioskop.
Film yang diputar jam 19.00 hampir bubar. Di luar hujan mulai turun. Rokok yang
dihisap Pak Wage telah habis. Untuk batang kedua, ia memikirkannya. Terasa
berharga sebatang rokok ketika hujan seperti ini. Dan hari pun semakin malam,
pintu teater sudah dibuka. Berduyun-duyun para penonton yang sebagian besar
para muda-mudi keluar dari gedung. Pak Wage pun harus bolak-balik ke gedung
bioskop. Tak peduli baju dan celananya basah kuyup. Semua ini Pak Wage lakukan
untuk menafkahi keluarganya.
Hari semakin malam. Tukang becak pun
sudah banyak yang pulang. Akan tetapi tidak untuk Pak Wage. Ia masih menunggu
beberapa lembar lagi masuk ke kantongnya karena pintu teater dua dan empat
belum bubar. Tak lama kemuudian pintu teater pun dibuka.
Pak
Wage : Becak… becak… becak mas… becak
mbak…
Tak lama kemudian lagi-lagi Pak Wage
mendapatkan penumpang. Penumpang tersebut menyebutkan nama sebuah jalan.
Pak
Wage : Empat ribu saja, Mas.
Tanpa
menawar pasangan pemuda itu pun langsung naik ke dalam becak.
Pak Wage berniat pulang. Tetapi, ia
masih berharap ada rupiah yang dapat menambah isi kantongnya. Ketika sampai di
depan gedung bioskop, Pak Wage melihat sepasang pemuda dengan kegelapan.
Pacar
Yatno : Ayo pulang…
Yatno : Nanti saja kalau hujannya sudah reda.
Pacar Yatno : Sampai kapan kita di sini? Itu becaknya
sudah datang. Kalau mas gak punya uang biar aku yang bayar. Ini sudah malam.
(rengek pacar Yatno yang mulai jengkel)
Sambil menarik tangan Yatno menuju
becak, ia merengek-rengek dengan jengkel. Pak Wage pun membukakan tirai plastik
becaknya. Pasangan pemuda itu pun segera melompat ke dalam becak. Sekilas Pak
Wage melihat wajah pasangan tersebut. Ia terkejut saat melihat wajah laki-laki
itu. Yatno! Tetapi, Pak Wage dapat menguasai keadaan. Dengan lincah ia mengayuh
becaknya. Tak habis fikir bahwa penumpang terakhirnya adalah anaknya sendiri.
Pacar
Yatno : Kok diam mas?
Yatno : Nggak apa-apa kok dik.
Pacar
Yatno : Marah ya Mas? Jawab dong jangan
diam gini.
Yatno : Enggak.
Pacar
Yatno : Ya jangan diam gitu dong. Aku
kan jadi gak enak.
Pak Wage tersenyum melihat pasangan tersebut.
Mungkin ada perasaan bangga dalam hatinya. Namun, ada kepedihan menusuk relung
hati terdalam ketika ia melihat Yatno anaknya tak mengenali bapaknya di depan
kekasihnya. Dan mungkin ia malu memiliki bapak yang bekerja jadi tukang becak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar